Sabtu, 15 Desember 2012

Sebut Saja Ini Usaha Mengakrabi Hujan (Lagi)

Mari kita mulai dengan... 

Sebenarnya diri ini sangatlah jengah dengan hujan. Hujan selalu saja memaksa atau lebih tepatnya menodong untuk menelusuri lorong kenangan dan melewati setapak harapan...yang menurutku sangatlah samar. Ah, aku sangat benci samar. Mataku sudah samar dan perlu bantuan kaca mata atau kontak lens untuk melihat semuanya dengan jelas, lagi pula aku sedang malas untuk bermelankolis ketika hujan datang. Oleh sebab itu untuk akhir-akhir ini aku lebih mengabaikannya, membiarkannya jatuh begitu saja tanpa perlu memaknainya. 

Namun lain cerita ketika lagi-lagi hujan mengguyur kota kecilku di suatu siang. Seseorang mengusik usaha pengabaianku pada hujan. Ya itu kamu, A. Kau memintaku menulis, suatu kegiatan yang aku hindari juga kala hujan turun akhir-akhir ini. Ah, apa-apaan. Lalu, aku mencoba untuk berkompromi. Bagaimana jika aku dan kamu bercengkrama saja melalui tulisan, setidaknya tidak hanya aku yang berpikir. Dan, kau setuju. Bagus. Okey, here we go ...

..............................................................................................................

R : Hujan yang ambigu. Didominasi abu-abu. Tak riuh, hanya gemericik yang sedang beradu syahdu.. Lalu? Masih bolehkah aku mengadu? Tentang harapan yang berselimut ragu.. Atau..Tentang rindu yang mungkin saja masih tak tahu malu...

A: Bayangkan jika hujan itu jatuh di telapak tanganmu. Alurnya mengikuti garis tanganmu. Tentu saja kau tak hanya mendengar. Tapi kau juga bisa merasakan hadirnya. Dingin. Seolah bercerita tentang inginnya akan dirimu, dan rindunya padamu yang mengental.

R: Dan... bagaimana jika hujan kali ini terlalu angkuh? Alih-alih bercerita, hanya bisa menjalankan tugasnya saja. Jatuh, dingin, kaku dan menusuk pori. Konspirasi sempurna dengan rindu.. Rindu yang mungkin saja mengental, namun bagaimana jika rindu itu justru membeku? Menghunus ngilu hingga pilu.. Ah, apa sebaiknya aku mencari payung saja?

A: Mungkin terlihat bodoh memang saat kau bicara pada hujan. Tapi sekali waktu hujan membawa salamnya padamu, menyampaikan sentuhnya di kulitmu.. dan kau bisa rasakan seperti apa rindunya orang yang memikirkanmu

R: Hujan memang selalu baik hati, kurasa. Karena selalu baik hati seperti itu yang membuatku takut. Takut berekspetasi lebih. Bagaimana jika suatu saat hujan justru mengkhianatiku? Ah, apa mungkin kekhawatiranku kali ini berlebihan? Walau banyak orang mengatakan khawatir itu manusiawi. Semoga dingin hujan tak terlalu egois,karena aku pasti kalud apabila dinginnya merenggut kehangatan jiwaku.

A: Mari kuceritakan padamu tentang hujan, tentang bagaimana mereka singgah di kaca jendelamu tapi terkadang kau menutupnya rapat-rapat, dan kau tak bisa menyentuhnya. Alurnya mungkin adalah sebuah kabar tentang seseorang yang memikirkanmu, tapi kau lebih sering menunggunya saja saat dia memanggilmu dalam gelombang suara.

R: Menunggu itu adalah sesuatu yang paling aman, yang paling mungkin untuk dilakukan saat kita enggan berjudi dengan waktu. Hey, kamu sudah menceritakan satu cerita.. Bagaimana jika aku ingin lebih dari satu? Sambil menikmati hujan yang baik hati..atau menikmati semesta… Menengadahkan kepala ke atas langit… Bercengkrama…hingga lupa waktu.

A: Di beranda rerintik hujan menjadi istimewa.. Segala kata tumpah ruah serupa cerita … Ada getar suara yang sejenak ingin didengar. Seperti suara latar dari hujan yang meriuh di atap rumah:musim ini terlalu dingin untuk mendekap secangkir kopi sendirian.

………………………………………………………………………………………………………………………

Dan, sebut saja ini upaya untuk mengakrabi hujan (lagi). It’s a nice conversation. Terima kasih, A... Anggie Sihan ;)

0 komentar:

Posting Komentar