Minggu, 14 Oktober 2012

Aku, Kamu dan Dimensi Absurd

Cats

Aku sedang bermain-main dengan angan-angan sekaligus brankas imajinasiku. Merampungkan malam yang sesaat lagi akan disambut mesra oleh pagi. Dan mari kita mulai dengan.......

Malam...ya, saat ini sedang dikuasai malam tepat di tengah waktu. Dini hari. Bukan waktu yang normal untuk masih terbebas menghirup aroma laut. Tapi bukannya sejak awal aku dan kamu seolah sudah bersepakat akan keabnormalan ini? Ombak masih berdesir, melengkapi jeda hening. Entah sudah berapa lama aku hanya terdiam menatap ke ujung depan. Sudah empat kali samar gelegar petir menyambar di tengah samudra. Sedangkan kamu masih di sampingku, bercumbu dengan rokok.

Otakku masih terus ricuh dengan pikiran, selalu saja begini. Aku mulai bertanya dalam hati, bisa disebut apakah keadaan yang sedemikian rupa? Sekuat apapun berupaya namun masih belum cukup. Selalu saja membutuhkan.... ah, lagi-lagi tenaga ekstra. Seekstra apa?

"Pekerja keras memang harus seperti itu!" ucapmu di sela waktu.

Tapi ini lain cerita, Sayang.... Sudah pasti kamu akan langsung mengerutkan kening dan langsung menyahut.. "Lain bagaimana?"

Untuk itu aku memilih bungkam. Lebih baik daripada menemukan dirimu yang mendadak bungkam apabila aku menjelaskan akan hal itu. Aku tahu untuk saat ini kamu tak akan paham. Jadi, nanti saja lah aku jelaskan. Tidak sekarang. Aku pun menghela nafas, panjang. Menimpali ucapanmu, dalam hati aku pun berujar. Jelas saja aku tidak mau bekerja keras untuk menyingkirkan dominasimu dalam asaku.

Aku melirik ke arahmu yang masih asik menghisap rokok dalam-dalam. Bukan kah seharusnya kamu yang tanggung jawab? Kamu yang datang secara tiba-tiba, yang juga entah sadar ataupun tidak sudah mengusik, bahkan mengobrak-abrik. Ah, perampok macam apa kamu ini? Hanya sebongkah yang mungkin kamu ambil tapi cukup mengacaukan sekaligus menggoyahkan. Dan aku hanya mampu meremas ujung bajuku kesal sembari sesekali menggeram. Gemas.

"Kesalahan.... Kesalahan kamu mengenal orang sepertiku..." gumammu lirih saat membuang sisa puntung rokok.

Memang! Dan Fatal! Sungguh aku ingin menjerit untuk mengaminkan ucapanmu barusan. Mengenalmu adalah salah satu kefatalan, fatal yang memabukkan. Aku akan mati-matian mencari obat penawarnya. Namun yang terdengar olehmu hanya helaan nafasku, lagi. Kamu pun sekilas melirik...

"Ekspresimu barusan penuh emosi..." sindirmu langsung.

Aku langsung memalingwan wajah ke arahmu. Mulai bersungut-sungut. Itu manusiawi, Sayang! Penuh emosi itu manusiawi! Aku memandangmu penuh keheranan...Jangan-jangan kamu sudah lupa caranya menjadi manusia. Terlalu dingin, kokoh, pongah sekaligus angkuh.

"Dan tidak romantis..." sahutmu tiba-tiba seolah membaca pikiranku. Tak lupa kamu tersenyum tipis saat melihat wajahku yang mungkin sudah tidak dapat dideskripsikan.

Ah, Satu lagi! Aku buru-buru menambahkan sambil mengacungkan ujung jari telunjuk membentuj angka satu. Kamu itu berbahaya, Sayang... Amat sangat Ber..ba...ha...ya...! Ejaku dengan penuh percaya diri.

Kamu terbahak sesaat. Lalu terdiam. Diam ambigu hingga beberapa cuil waktu berlalu. Aku pun menunggu dengan tak melepaskan wajahmu sedetik pun dari ujung indera penglihatanku. Jantungku mulai berontak, berirama di luar notasi wajar. Benar saja, tiba-tiba kamu mencengkeramku dalam sebuah tatapan. Matamu seakan menjelma sebagai senapa sniper yang siap melepas peluru lewat sorot matamu. Sudah pasti telak, telak menghunusku hingga menembus jantung. Aku pun tersengal, nyeri sekaligus ngeri.

"Berbahaya? Tapi kok sering dirindukan?" tanyamu dengan intonasi yang datar. Sangat wajar.

Aku menelan ludah dalam-dalam. Bibirku masih terpaku walaupun di otakku sudah menjawab saat kalimat tanyamu selesai. Aku berdeham, rindu itu Hak Asasi Manusia. Tak ada larangan khusus untuk itu. Tak ada siapa pun yang bisa melarang, termasuk kamu. Aku mengangkat dagu sambil mencibirmu, puas. Kali ini boleh lah aku sedikit bergaya di hadapanmu.

Hanya sesaat. Tak berapa lama nyaliku menciut lagi. Kamu selalu bisa memutar kembali keadaan dengan diammu, walau senapa snipermu masih belum beranjak untuk membebaskanku. Aku yakin pasti ada serangan lanjutan. Aku mulai bersiap meskipun aku sudah tak tahu rupa nyaliku kini seperti apa. Mungkin udah menyusut layaknya parasut yang kingsut.

Badanku menegak saat bola mataku menangkap gerak bibirmu.

"Kamu tahu, aku bersyukur masih ada yang menaruh rindu padaku. Meskipun aku ini berbahaya.." masih dengan nada datar yang nyaris terkesan dingin. Tak lupa kamu memberi bumbu senyuman tipis yang menjadi ciri khasmu. Juga ambigu. Benar-benar jawaban yang tak aku duga sebelumnya. Sukses membuat aku terperangah, hanya melongo.

Senyummu seolah girang untuk beraksi lagi, dengan nada yang menurutku sedikit mengejek kamu pun berujar lagi...

"Dan kamu....masih punya stok waspada yang banyak kan? Ingat, aku ini berbahaya lho..."

Mataku terbelalak kaget.Biasanya aku langsung memekik senang melihat raut wajahmu yang begini. Tapi mendengar kalimatmu yang barusan wajahku serasa pucat pasi. Tidak menemukan kata untuk menjawab selain bibir ini sudah tak bisa berkompromi lagi. Telak. Benar-benar telak hingga aku tak sanggup mengibarkan bendera putih.

Selanjutnya hanya hening, desiran ombak yang berbisik. Ah, benarkah? Atau justru nafasmu lah yang sedang berbisik? Sial.

0 komentar:

Posting Komentar