Minggu, 17 Februari 2013

See You Soon ...

"Pertemuan kini memang disengaja kembali. Tapi tak ada sapa yang menggenapi. Untuk apa menyapamu jika nanti ada luka yang kembali menganga." (*)

Mungkin aku perlu merenungkan kalimat di atas. Yeah. mungkin. Setelah apa yang terjadi tentunya. Lalu apa yang aku lakukan sekarang? Aku mencoba merenungkan kembali hal-hal yang aku lakukan di hari kemarin. Sekilas memang mirip dengan salah satu kisah persinggahan yang pernah aku baca dengan judul "Dermaga Semesta" (**). Di mana di situ tokoh utamanya mengunjugi satu per satu tempat yang pernah dikunjungi oleh kekasihnya sambil meninggalkan foto-foto hasil jepretan sang kekasih. Bedanya, aku tidak meninggalkan apa-apa. Hanya jejak yang tak kasat mata, jejak rasa yang tak berbalas, mungkin. Atau mungkin aku harus meninggalkan secarik catatan atau pesan?

Aku sudah mengeksekusi jarak, Sayang. Terlampau jauh, malah. Dan tak takut tersesat karena yang kuyakini berhasil menuntunku dengan baik. Walaupun yang kutemukan berbeda dari apa yang aku ekspetasikan. Namun cukup membuat ngilu. Memang bukan kau yang dihadirkan, tapi segala kenanganmu. Mungkin aku memang sengaja mencari-cari kesempatan untuk terserang oleh hal absurd yang disebut kenangan itu. Dan mereka berhasil melumpuhkanku, telak. Sangat telak hingga aku tersungkur. Aku merasa kurang waras kali ini, Sayang. Amat sangat.

Pada suatu waktu kemarin aku duduk termangu di tempat yang sama saat kita menikmati hari ulang tahunmu dulu. Tempat di mana kita sama-sama menjadi seorang 'pencuri'. Kau tiba-tiba mencuri ciuman di pipiku saat aku asyik memotret. Dan aku diam-diam mencuri jepretan untuk mengabadikan senyummu. Lihatlah, Sayang... betapa kurang ajar sekali hal yang disebut kenangan itu. Dan aku sangat mengutuk otak kecilku bisa mengingat semua itu bagaikan proyektor bioskop yang menampilkan gambar cukup jelas untuk kulihat. Ya, aku mengingatnya sangat jelas, entah dirimu. Namun sekali lagi aku paham, mengingat segala kenangan itu dan mengingatku suatu waktu memang bukan kewajibanmu. Aku yang kurang kerjaan dan mungkin terlampau lupa diri atau bisa jadi sangat bodoh sehingga memiliki waktu untuk mengingat itu semua. Anggap saja begitu.

Waktu yang kurang tepat, katamu. Mungkin, kataku. Tapi sangat tak tau diri kalau aku menyalahkan waktu. Waktu hanya menjalankan tugasnya. Dan... mungkin saja semesta memang sengaja berkonspirasi dengan waktu untuk menciptakan keadaan kemarin. Seolah sengaja membiarkanku sendiri, membiarkanku berjuang memaknai tiap kilometer yang kulalui, dan membiarkanku menemukan sendiri tempat-tempat yang pernah aku kunjungi dan yang pernah kita kunjungi bersama. Mungkin, untuk mengajarkanku untuk menikmati semesta pulaumu ini tanpamu. Ya, tanpamu. Dan aku berhasil.

Kemarin, memang sangat abu-abu. Tak sebiru pada saat kita nikmati dulu, lebih dingin. Sedingin hatimu yang tak juga luluh. Tubuh dan hatimu memang benar-benar sekokoh karang di lautan lepas sana. Aku sangat mengerti benar dedikasi tinggi yang kau miliki untuk pencapaian yang kau peroleh sekarang. Sampai celah untukku pun tampaknya tidak ada sama sekali. Ya, kali ini mungkin tidak ada. Atau mungkin sejak dulu memang tidak ada? Entah.

Aku hanya bisa tersenyum kemarin, kemudian terbahak dan menangis. Sekaligus, terjadi dalam satu hari. Merasa dipermainkan semesta, atau kah ini memang ujianku? Aku ingin mengeluh lelah, tapi aku tahu justru kau yang lebih lelah. Jauh lebih lelah. Sudah pasti kau akan memilih diam, tak akan mau berkeluh kesah. Sok tangguh tapi memang tangguh. Ah, semoga kau selalu baik-baik saja, Sayang. Semoga.... Aku tidak akan khawatir, karena percuma. Aku tidak akan melarang atau pun menyuruh, seperti yang kau lakukan padaku selama ini mengenai perasaan. Dan aku juga akan melakukan hal yang sama terhadapmu, karena begitu lah dirimu... dingin, kokoh, keras, dan tangguh.

Sudah larut, Sayang.. pasti kau sudah terlelap. Tidur adalah jeda bagi otak ruang pikiranmu untuk beristirahat setelah dipacu tanpa ampun olehmu yang tak mengenal lelah. Sesuai janjiku, aku tak akan membebanimu dengan rasa yang kumiliki. Kau ada dan masih di tempat yang sama itu dengan kondisi baik-baik saja sudah cukup. Muluk kah aku? Kurasa tidak. Dan masih... aku masih tak punya ide bagaimana akhir dari cerita ini. Siapa yang lebih dulu beranjak.. aku atau kamu? Entah dan terserah. Biarlah konpirasi epic semesta dan waktu yang menjawab, dan Sang Pencipta penentunya.

See you soon ... 

* : from "Soul Healer" by Riefka Aulia, ** "Dermaga Semesta" by Badai Taufan Gio in "Singgah"

Denpasar, 17 Februari 2013 

0 komentar:

Posting Komentar