Kamis, 21 Maret 2013

3 gelas

"Sudah kubilang kau pasti tak cukup satu gelas.. pesanlah lagi..."

Aku menuruti ucapanmu. Aku memesan satu gelas cappucino lagi. Kau sempat terbahak saat aku memandangi gelas pertamaku bak ember bocor. Cepat sekali air di dalamnya habis. Dan aku paling suka melihatmu tertawa seperti itu. Lucu kah aku? Seperti badut? Tak apa lah asal kau tertawa. Setidaknya malam ini aku tak membiarkan diriku menikmati waktu sendirian. Hey, sudah lama kita tak menghabiskan waktu untuk bercengkrama. Aku merindukan kata-kata pedasmu yang dulu sering kali membuatku uring-uringan setengah mampus. Aku rindu ucapan filsufmu yang sering membuat dahiku kusut. Aku merindukan olokanmu yang otomatis membuat mulutku manyun beberapa senti. Ah, kesimpulannya aku merindukanmu.
Aku sempat teramat marah kepadamu, namun baru kusadari akhir-akhir ini maksud sikap dan perilakumu. Harusnya aku paham sejak dulu. Kini kutahu kau akan pergi meninggalkan kota kecil ini. Dan aku tak tahu pasti tanggal keberangkatanmu. Sudah pasti aku tak punya hak dan daya untuk mencegah. Siapa aku? Hhaha...

"Berceritalah sesuatu..." pintaku
"Cerita apa. Aku tak punya cerita.."
"Apapun..."

Tampak kau mulai berpikir. Aku sedikit mengingat kenangan saat aku sering menjadi pendengar setiamu. Aku duduk berdampingan denganmu. Sebentar...aku baru tersadar aku lebih sering melakukan ini bersamamu. Bahkan kurasa kau jauh lebih terbuka. Dan aku lebih merasa aman... ah, lagi-lagi baru sadar. Kau mulai bersuara.. mencetuskan nama seperti Vaclav Havel, Goenawan Mohamad.. oh aku mati kutu.

"Kamu tidak tau Goenawan Mohamad? Kamu kuliah ngga sih?"

Aku melengos. Di tempat kuliah mana peduli tokoh seperti yang kau sebutkan. Ini bagian yang aku suka, sisi filsufmu dan kegemaranmu akan sejarah. Menjelaskan hal-hal lain selain hal tehnis seperti ideologi, dan sumpah aku baru tau kalau prinsip Marhaen itu terdiri terinspirasi dari tiga tokoh. Ah, tau apa aku kalau soal itu semua. Di hadapanmu aku sering merasa seperti maasiswa di hadapan dosen, namun aku adalah mahasiswa bengal yang bebas mencubitmu apabila aku kelewat gemas. Jujur, aku selalu menantikan momen bercengkrama berdua denganmu, di mana saat itu yang lain hanya berasa numpang. Hhaha kurang ajarnya aku. Ya, aku ketagihan dengan dongeng-dongeng absurdmu. Astaga, mungkinkah aku sejak dulu terus menyimpan kagum padamu walau yeah kutahu kau adalah komentator terkejamku. Sial.

"Pesan lagi...." ujarmu saat melihat gelasku hampir kosong.

Okey. Aku memesan satu gelas lagi, kali ini teh manis. Tiga gelas. Sesuai dengan prediksimu. Selanjutnya aku kembali tenggelam dalam ceritamu. Apa adanya, itu petuahmu. Walau yeah kita tau pasti hal itu sangat susah. Dan..ya aku teringat seseorang yang lain. Sebelas dua belas denganmu. Hanya beda generasi. Aku tersenyum samar. Sial aku juga merindukannya, walau jelas sudah aku terluka karenanya. Ah, sudahlah... aku juga teringat ucapanmu dulu.

"Lupakan dia. Aku tak mau tau kamu ke sini hanya untuk memikirkan dia..."

Mungkinkah kau sudah tau aku akan terluka? Mungkinkah kau jg sudah paham akan kebandelanku, yang tidak bakal kapok hingga aku menemukan jawaban itu sendiri walau melalalui proses yang menyakitkan?

"Wajar jika kamu masih labil seperti itu...seumuranmu memang begitu. Semua ada masa dan waktunya... segala pertanyaan pasti ada jawabannya. Lagi-lagi waktu yang menentukan.. "

Aku menatapmu penuh binar. Bagaimana kalau aku menyandarkan kepalaku di pundakmu saja? Tampaknya jauh lebih kokoh. Well, ini cuma angan-angan absurdku saja. Jelas itu mustahil, nyaliku tak akan sebesar itu. Menjadi pendengar setiamu saja saat ini adalah cukup. Aku pasti akan sangat merindukan waktu 'tiga gelas' ini.

- 21032013 -

0 komentar:

Posting Komentar