Senin, 01 April 2013

Untitled

Hari ini hari spesial. Tanggal pertama yang jatuh pada hari pertama  juga. Awal yang baik di bulan genap kedua. Banyak orang yang berlomba-lomba menggantung harapannya. Harapan-harapan baru dan harapan yang mungkin sudah mulai usang. Usang karena tergerogoti waktu yang pasti masih bersifat diktator atau bahkan karena tertodong oleh rasa putus asa. Setidaknya dengan menciptakan sebuah hal yang disebut harapan tersebut, mereka masih fasih menjadi seorang manusia. Peduli setan apakah semesta akan mengaminkan atau bahkan masih tega menggantungkan harapan tersebut di pohon kehidupan yang amat sangat fana ini.

Aku tersenyum menatap langit fajar. Secercah sinar perdana dari Sang Surya di bulan ini. Suguhan yang mendamaikan, pikirku. Aku bersandar pasrah, sambil terus menerawang. Sebentar lagi aku akan tenggelam dalam rutinitas manusia kebanyakan. Sejak tanda tanganku terbubuhkan dalam pelataran putih yang disebut 'kontrak', aku paham benar bahwa aku sudah menyerahkan sebagian jiwaku. Harus tunduk hingga batas waktu yang ditetapkan. Dalam hal ini entah mengapa aku merasa bahwa manusia sangat lemah dalam menghadapi dunia. Ah sudahlah, ini termasuk hal yang sangat manusiawi.

Sepagi ini jalan tol sudah cukup ramai. Tujuan mereka sama denganku. Kembali pada rasionalitas paling rasional di dunia ini. Rasionalitas yang bermuasal dari satu hal, uang. Terkadang aku pun mengutuk pencipta benda lagnat tersebut. Bagaimana tidak lagnat, benda tersebut bisa mengubah manusia sampai pada bentuk paling hina sekalipun. Ya, aku masih melamun.

Langit sudah membiru di ujung cakrawala. Bangunan yang menjadi tempat singgahku selanjutnya juga sudah terlihat. Rasa yang paling menyiksa dalam kehidupan ini adalah rasa rindu yang belum tuntas. Belum juga menuntaskan namun kau harus berkompromi kembali dengan waktu. Mengingkari nurani. Ah, rinduku belum tuntas kepada seseorang di kota ini. Mungkin aku memiliki cara untuk menyelesaikan rasa yang paling membuat candu dalam diri manusia, tapi aku tak memiliki daya untuk saat ini. Banyak yang harus kupertimbangkan dan aku kandaskan begitu saja hanya untuk mempertahankan kondisi 'baik-baik'. Benar-benar menyiksa batin. Mungkin karena ini juga banyak orang yang memiliki 'jalan' yang relatif aman. Aman dari rasa sakit, aman dari perasaan bersalah, aman dari risiko berbuat dosa, aman dari ... segalanya demi mempertahankan kondisi 'baik-baik'. Wahai Pencipta Semesta, Kau pasti paham benar apa yang aku rasakan saat ini bukan? Ya, kau pasti paham, teramat sangat paham.

Tak beberapa lama kemudian, taksiku berhenti tepat di pintu utama terminal keberangkatan domestik. Kakiku masih berat untuk digerakkan. Sinkron sekali dengan keenggananku untuk turun, namun aku harus. Baiklah.. kali ini memang saatnya aku menurut. Aku serahkan uang kepada sopir taksi lalu membuka pintu sambil menenteng ransel kesayanganku. Baru saja aku memantabkan kaki untuk melangkah, semesta pun berulah. Oh, baiklah... aku akan terima segala yang tertulis untukku hari ini. Oh, tepat sekali, kakiku membeku. Lagi-lagi sinkron dengan otakku yang tampaknya kehilangan ruhnya. Bagaimana kalau perasaan saja yang mengambil alih? Jangan! Itu berbahaya. Aku lebih memilih untuk lumpuh sementara saja. Dengan begini aku bisa merekam dengan baik dan memaksa waktu untuk berjalan lebih lambat. Tolonglah, bagaimana kalau ada rem maha ajaib yang menghentikan roda waktu saja? Fine, aku mulai sinting.

Aku berhasil meyakinkan diriku bahwa yang sedang berdiri di hadapanku adalah kamu. Kamu yang berhasil memiliki hak paten dalam sebuah hal absurd yang kuberi label 'rindu yang belum tuntas'. Ah sebentar, bukankah dalam beberapa waktu yang singkat lalu aku telah membahasnya. Oh, yeah.. konspirasi epic sekali. Lantas? Should've I kissed you there? Hold your face, say your name... Should I? Aku sudah tak memiliki kemampuan untuk menghitung satuan waktu yang sudah terlewat begitu saja. Oh, sial... Kalau saja burung besi raksasa itu tak menungguku... Do something, Moron! Umpat hatiku kesal. Don't do the stupid thing, Moron! Sahut otakku garang. Hell yeah, kupikir otakku sudah benar-benar kehilangan ruhnya. Ternyata hanya pingsan. Namun satu yang berhasil aku tangkap dengan sempurna. Binar matamu yang masih saja sama. Mengarah lurus dengan tujuan yang amat sangat pasti, mataku. Waktu terus berlalu, melenggang anggun dalam bisu. Ambigu. Tuntas kah rinduku kali ini? Baiklah, demi segala norma dan aturan, kurasa ini sudah amat sangat cukup. Anggap saja menuntaskan sesaat rindu yang belum sepenuhnya tuntas atau mungkin tidak akan pernah tuntas. Mungkin seperti itu. Oh, mungkin juga ini seperti gambaran atau bukti nyata mengapa banyak orang bilang bahagia itu teramat sederhana. Dan kalau saja tersedia cermin yang biasa memantulkan dengan sempurna raut wajahku kali ini... Ah, peduli setan dengan kacaunya ekspresi wajahku. Mataku mengerjap. Move, Moron! Yeah, aku harus menghampirinmu segera. Memanfaatkan waktu sempit yang tersisa,yang sebelumnya kusia-siakan karena terpana. Dan kamu memang satu-satunya makhluk yang bisa berbuat sedemikian rupa kepadaku. Kamu.., dan mungkin memang hanya kamu. Berdosa kah aku? Sudah pasti, dan aku tidak peduli. Kali ini memang teramat sangat tidak peduli.

 

-010413-

0 komentar:

Posting Komentar